Selasa, 17-Maret-2009; 12:02:55 WIB
Arti Kehidupan
Oleh : Andrie Wongso
Alkisah, seorang pemuda mendatangi
orang tua bijak yang tinggal di sebuah
desa yang begitu damai. Setelah
menyapa dengan santun, si pemuda
menyampaikan maksud dan tujuannya. "Saya menempuh perjalanan jauh ini untuk
menemukan cara
membuat diri sendiri selalu bahagia, sekaligus membuat orang
lain selalu
gembira."
Sambil tersenyum
bijak, orang tua itu berkata, "Anak muda, orang seusiamu
punya keinginan
begitu, sungguh tidak biasa. Baiklah, untuk memenuhi
keinginanmu,
paman akan memberimu empat kalimat. Perhatikan baik-baik
ya..."
"Pertama,
anggap dirimu sendiri seperti orang lain!" Kemudian, orang tua
itu bertanya,
"Anak muda, apakah kamu mengerti kalimat pertama ini? Coba
pikir baik-baik
dan beri tahu paman apa pengertianmu tentang hal ini."
Si pemuda
menjawab, "Jika bisa menganggap diri saya seperti orang lain,
maka saat saya
menderita, sakit dan sebagainya, dengan sendirinya perasaan
sakit itu akan
jauh berkurang. Begitu juga sebaliknya, jika saya mengalami
kegembiraan yang
luar biasa, dengan menganggap diri sendiri seperti orang
lain, maka
kegembiraan tidak akan membuatku lupa diri. Apakah betul,
Paman?"
Dengan wajah
senang, orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala dan
melanjutkan
kata-katanya. "Kalimat kedua, anggap orang lain seperti dirimu
sendiri!"
Pemuda itu
berkata, " Dengan menganggap orang lain seperti diri kita, maka
saat orang lain
sedang tidak beruntung, kita bisa berempati, bahkan
mengulurkan
tangan untuk membantu. Kita juga bisa menyadari akan kebutuhan
dan keinginan
orang lain. Berjiwa besar serta penuh toleransi. Betul,
Paman?"
Dengan raut
wajah makin cerah, orang tua itu kembali mengangguk-anggukkan
kepala. Ia
berkata, "Lanjut ke kalimat ketiga. Perhatikan kalimat ini
baik-baik,
anggap orang lain seperti mereka sendiri!"
Si anak muda
kembali mengutarakan pendapatnya, "Kalimat ketiga ini
menunjukkan
bahwa kita harus menghargai privasi orang lain, menjaga hak
asasi setiap
manusia dengan sama dan sejajar. Sehingga, kita tidak perlu
saling menyerang
wilayah dan menyakiti orang lain. Tidak saling mengganggu.
Setiap orang
berhak menjadi dirinya sendiri. Bila terjadi ketidakcocokan
atau perbedaan
pendapat, masing-masing bisa saling menghargai."
Kata orang tua
itu, "Bagus, bagus sekali! Nah, kalimat keempat: anggap
dirimu sebagai
dirimu sendiri! Paman telah menyelesaikan semua jawaban atas
pertanyaanmu.
Kalimat yang terakhir memang sesuatu yang sepertinya tidak
biasa. Karena
itu, renungkan baik-baik."
Pemuda itu
tampak kebingungan. Katanya, "Paman, setelah memikirkan keempat
kalimat tadi,
saya merasa ada ketidakcocokan, bahkan ada yang kontradiktif.
Bagaimana
caranya saya bisa merangkum keempat kalimat tersebut menjadi
satu? Dan, perlu
waktu berapa lama untuk mengerti semua kalimat Paman
sehingga aku
bisa selalu gembira dan sekaligus bisa membuat orang lain juga
gembira?"
Spontan, orang
tua itu menjawab, "Gampang. Renungkan dan gunakan waktumu
seumur hidup
untuk belajar dan mengalaminya sendiri."
Begitulah, si
pemuda melanjutkan kehidupannya dan akhirnya meninggal.
Sepeninggalnya,
orang-orang sering menyebut namanya dan membicarakannya.
Dia mendapat
julukan sebagai: "Orang bijak yang selalu gembira dan
senantiasa
menularkan kegembiraannya kepada setiap orang yang dikenal."
Pembaca yang luar biasa,
Sebagai makhluk sosial, kita dituntut
untuk belajar mencintai kehidupan dan
berinteraksi
dengan manusia lain di muka bumi ini. Selama kita mampu
menempatkan
diri, tahu dan mampu menghargai hak-hak orang lain, serta
mengerti
keberadaan jati diri sendiri di setiap jenjang proses kehidupan,
maka kita akan
menjadi manusia yang lentur. Dengan begitu, di mana pun kita
bergaul dengan
manusia lain, akan selalu timbuk kehangatan, kedamaian, dan
kegembiraan.
Sehingga, kebahagiaan hidup akan muncul secara alami... luar
biasa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar